Makalah Tentang Akhlak Kepada Allah dan Rasul
Makalah Tentang Akhlak Kepada Allah dan Rasul
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ajaran Islam yang
bersifat universal harus
bisa diterapkan dalam kehidupan individu, masyarakat,
berbangsa dan bernegara
secara maksimal. Penerapan
tersebut tentu terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban kita sebagai
seseorang hamba kepada Allah SWT, rasul-Nya,
manusia dan lingkungannya. Khusus
penerapan akhlak (
hak dan kewajiban
) seorang hamba kepada
Allah terlihat dari
pengetahuan, sikap, perilaku
dan gaya hidup yang dipenuhi dengan kesadaran
tauhid kepada Allah
SWT, Hal itu
bisa dibuktikan dengan berbagai
perbuatan amal Shaleh,
ketakwaan, ketaatan dan
ibadah kepada Allah SWT
secara ikhlas. Untuk itulah
dalam menata kehidupan,
diperlukan norma dan nilai,
diperlukan standar dan
ukuran untuk menentukan
secara obyektif apakah perbuatan
dan tindakan yang
dipilih itu baik
atau tidak, benar
atau salah, sehingga yang dilihat
bukan hanya kepentingan diri sendiri, melainkan juga kepentingan orang lain,
kepentingan bersama, kepentingan
umat manusia secara
keseluruhan. Dan untuk itulah
setiap individu dituntut
memiliki komitmen moral,
yaitu spiritual pada norma kebajikan dan kebaikan. Oleh sebab
itu sudah sepatutnya kita sebagai hamba memiliki pengetahuan bagaimana cara
menerapkan Akhlak kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kata “akhlak“, artinya telah berbuat, menciptakan, atau mengambil
keputusan untuk bertindak. Secara ter monologis, akhlak
adalah tindakan yang
tercermin pada akhlak Allah
SWT, yang salah
satunya dinyatakan sebagai
pencipta manusia dari segumpal darah; Allah SWT Sebagai sumber pengetahuan yang
melahirkan kecerdasan manusia,
pembebasan dari kebodohan,
serta peletak dasar
yang paling utama
dalam pendidikan. Selanjutnya istilah
akhlak sudah sangat
akrab di tengah
kehidupan kita, mungkin hampir semua orang mengetahui
arti kata “akhlak“ karena perkataan akhlak selalu dikaitkan
dengan tingkah laku
manusia. Akan tetapi,
agar lebih jelas
dan meyakinkan, kata “akhlak” masih
perlu untuk diartikan
secara bahasa maupun
istilah. Dengan demikian, pemahaman
terhadap kata “ akhlak” tidak
sebatas kebiasaan praktis yang setiap hari kita dengar, tetapi sekaligus
dipahami secara filosofis, terutama makna subtansialnya. Kata “akhlak”
berasal dari bahasa Arab, yaitu Jama’
dari kata “khuluqun” yang secara
linguistik diartikan dengan
budi pekerti, perangai,
tingkah laku atau
tabiat, tata krama, sopan
santun, adab, dan
tindakan. Kata “
akhlak “ juga
berasal dari kata “khlaqa“ atau “khalqun“,artinya kejadian,
serta erat hubungannya dengan “Khaliq“, artinya
menciptakan, tindakan atau
perbuatan, sebagaimana terdapat kata “al-Khaliq“,artinya pencipta atau
dan “makhluq“, artinya yang diciptakan.
Konsep akhlak dalam
Al-Qur’an, salah satunya
dapat diambil dari
pemahaman terhadap surat Al-Alaq ayat 1-5 :
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي
خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ
عَلَقٍ ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ
ٱلۡأَكۡرَمُ ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ
بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا
لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar
(manusia) dengan pena. Dia mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Ayat
diatas secara tekstual menyatakan perbuatan Allah SWT dalam menciptakan
manusia sekaligus membebaskan
manusia dari kebodohan.
Menurut Ibn Miskawaih (w.421 H/1030 M), yang dikenal sebagai pakar
bidang akhlak terkemuka mengatakan
bahwa akhlak adalah
sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan
perbuatan tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan.
Sementara Imam Al-Ghazali
(1015-1111 M), yang dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam)
karena kepiawaiannya dalam
membela Islam dari berbagai
paham yang dianggap
menyesatkan. lebih luas, mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan
gamblang dan mudah,
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[1]
Sedangkan menurut Barmawi Umar bahwa pertama, ilmu akhlak berfungsi untuk mengetahui batas
antara baik dan buruk, dapat
pula menempatkan sesuatu
pada tempatnya, yaitu menempatkan
sesuatu pada proporsi
yang sebenarnya. Kedua, berakhlak
dapat memperoleh irsyad, taufiq dan hidayah, sedemikian sehingga kita akan
berbahagia di dunia dan di akhirat. Dalam
agama Islam kita dapat mencontoh Nabi Muhammad SAW dalam penerapan
Akhlak kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surah
Al-Ahzab’ ayat 21 :
لَّقَدۡ
كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ
ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
“Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
B.
TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan dan manfaat kita mempelajari
Akhlak kepada Allah SWT dan Rasul-Nya diantaranya adalah :
1.
Melaksanakan
kewajiban kita sebagai hamba Allah SWT.
2.
Menambah
keimanan kita kepada Alah SWT dan Rasul-Nya
3.
Dicintai
oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
4.
Memberikan panduan kepada kita dalam melakukan
setiap perbuatan di dunia
5.
Membersihkan
kalbu dari kotoran hawa nafsu,
dosa dan maksiat, sehingga
menjadi suci bersih.
manusia memiliki jasmani dan
rohani. Jasmani dibersihkan secara lahiriah melalui
fiqih, sedangkan rohani
dibersihkan secara batiniah
melalui akhlak.
C.
RUANG LINGKUP
Penerapan
Akhlak kepada Allah dan Rasulnya sudah sangat wajib kita terapkan dalam
kehidupan sehari-hari, dalam makalah ini penulis akan berfokus pada :
1.
Akhlak
kepada Allah SWT meliputi :
a.
Tawakkal
b.
Syukur
c.
Haya
d.
Taubat
e.
Berzikir,
dan
f.
Berdo’a
2.
Akhlak
kepada Rasul-Nya meliputi :
a.
Taat
kepada Rasul,
b.
Menghidupkan
sunnah,
c.
Membaca
Sholawat,
d.
Mencintai
rasulullah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
AKHLAQ KEPADA ALLAH SWT
1.
TAWAKKAL
Dalam kamus
Al-Munawwir, disebut ل على ﷲّ توك (bertawakal, pasrah kepada Allah)[2]. Dalam Kamus
Arab Indonesia karya
Mahmud Yunus, ل على ﷲّ توك - ل توك (menyerahkan diri,
tawakkal kepada Allah SWT)[3]. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia,
tawakal berarti berserah (kepada kehendak
Tuhan), dengan segenap
hati percaya kepada
Tuhan terhadap penderitaan, percobaan dan lain-lain[4]. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, tawakal adalah pasrah diri
kepada kehendak Allah dan percaya sepenuh
hati kepada Allah SWT.
Menurut ajaran Islam,
tawakal itu adalah
landasan atau tumpuan terakhir dalam sesuatu usaha atau
perjuangan. Lalu berserah diri kepada Allah setelah menjalankan
ikhtiar. Itulah sebabnya
meskipun tawakal diartikan sebagai penyerahan diri atau
ikhtiar sepenuhnya kepada Allah SWT, namun tidak berarti orang yang bertawakal harus meninggalkan semua
usaha dan ikhtiar. Sangat keliru bila
orang menganggap tawakal dengan memasrahkan segalanya kepada Allah tanpa
diiringi dengan usaha maksimal. Usaha
dan ikhtiar itu harus
tetap dilakukan, sedangkan
keputusan terakhir diserahkan kepada Allah SWT, di dalam
Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 159 Allah SWT menegaskan:
فَبِمَا
رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ
لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ
فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ
يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ ١٥٩
“Maka berkat rahmat Allah
engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau
bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka,
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau
telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah
mencintai orang yang bertawakal.”
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita liat beberapa ciri orang
yang bersyukur, diantaranya :
a.
Mujahadah
Sebagai seorang mukmin dan muslim dianjurkan untuk memiliki akhlak
yang baik. Salah satunya tawakal. Guna terciptanya sosialisasi yang tenteram,
tenang, dan damai. Tawakal bukan hanya sekadar merasakan segala perkara kepada
Allah Ta ‘ala, tetapi diawali dengan usaha-usaha ataupun jalan-jalannya yang
kuat. Setelah itu serahkan hasilnya kepada Allah Ta ‘ala. Di antara ciri orang
yang bertawakal ialah memiliki semangat yang kuat. Mempunyai semangat yang kuat
merupakan salah satu akhlak orang mukmin yang dianjurkan oleh Islam.
b.
Bersyukur
Ciri lain orang yang bertawakal ialah ia senantiasa bersyukur
kepada Allah Ta'ala. Apabila ia sukses ataupun berhasil dalam segala urusan
ataupun ia mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan ia tak luput untuk
senantiasa bersyukur kepada Allah Ta'ala, karena ia menyadari dan meyakini
bahwa semua yang ia dapatkan itu adalah takdir Allah dan kehendak-Nya. Dengan
bersyukur pula ia akan selalu merasa puas, senang dan bahagia.
c.
Bersabar
Ciri orang yang bertawakal selanjutnya ialah selalu bersabar.
Sebagai orang mukmin yang bertawakal kepada Allah Ta'ala ia akan bersabar, baik
dalam proses maupun dalam hasil. Karena dengan inilah ia akan bahagia dan
tenang atas apa yang di terimanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda yang artinya sebagai berikut: "Orang yang bahagia ialah yang
dijauhkan dari fitnah-fitnah dan orang yang terkena ujian dan cobaan dia
bersabar." (HR. Ahmad dan Abu dawud)
d.
Intropeksi
Diri (Muhasabah)
Orang yang bertawakal salah satu sikapnya ialah intropeksi diri.
Dimana ia akan intropeksi diri apabila ia kurang sukses dalam menjalankan
sesuatu ia tidak membuat dirinya "drop", melainkan ia selalu
intropeksi pada diri, dapat dikatakan muhasabah. Senantiasa mengoreksi apa yang
telah dilakukannya. Setelah itu ia akan berusaha menghindari faktor penyebab
suatu kegagalan tersebut serta senantiasa memberikan yang terbaik pada dirinya.
2.
SYUKUR
Syukur berarti terima kasih kita kepada Allah SWT, dan penggakuan
yang tulus atas nikmat dan karunia yang diberikannya. Nikmat yang diberikan
sangat banyak dan bentuknya bermacam-macam, di setiap detik yang dilalui manusia
tidak pernah lepas dari nikmat Allah, nikmatnya sanggat besar. Sehingga manusia
tidak akan dapat menghitungnya.
Sejak manusia lahir dengan keadaan tidak tahu apa-apa, kemudian
diberikan pendengaran , penglihatan dan hati damai meninggal dunia menghadap Allah
di akhirat kelak dan ia tidak akan lepas dari nikmat Allah. Sementara balasan
yang dijanjikan Allah SWT apabila hambanya mensyukuri nikmat-Nya, adalah kenikmatannya
akan ditambah dan dilipat gandakan nikmat – nikmatnya yang lain. Sebagaimana
Allah SWT berfirman dalam Al – Quran Surah Ibrahim ayat 7:
وَإِذۡ تَأَذَّنَ
رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي
لَشَدِيدٞ ٧
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
memaklumkan, Bersyukurlah kepada-Ku niscaya akan aku tambah nikmatnya, tapi
jika tidak bersyukur sesungguhnya azabku teramat pedih."
Orang yang
selalu bersyukur ia akan selalu mengingat Allah SWT dalam berdiri, duduk,
sampai dalam keadaan tertidur, dari bangun tidur sampai tidur lagi ia akan
selalu berzikir, dan tidurnya pun untuk mengumpulkan energi untuk bersyukur
atas nikmat Allah SWT. Inilah hakikat syukur dari hati, akal, lisan dan jasad
sebenarnya.
3.
HAYA
Haya atau malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi
segala apa yang dibenci.[5] Imam
Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan
ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi
makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi
sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi
oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup,
pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna. Perasaan malu didalam hati
dikala akan melanggar larangan agama, malu kepada tuhan bahwa jika ia
mengerjakan kekejian akan mendapat siksa yang pedih. perasaan ini menjadi
pembimbing jalan menuju keselamatan hidup, perintis mencapai kebenaran dan alat
yang menghalangi terlaksananya perbuatan yang rendah. Orang yang memiliki sifat
ini, semua anggotanya dan gerak geriknya akan senantiasa terjaga dari hawa
nafsu, karna setiap ia akan mengerjakan perbuatan yang rendah, ia tertegun,
tertahan dan akhirnya tiada jadi, karna desakan malunya, takut mendapat nama
yang buruk, takut menerima siksaan Allah swt kelak di akhirat. Tetapi janganlah
malu itu hanya kepada manusia saja, maka berbuat yang baik kalau diketahui
manusia tetapi kalau ditempati sunyi ia berbuat buruk sebab orang tiada
melihat. Maka hendaknya malu terhadap makhluk, juga lebih-lebih lagi malu
terhadap sang pencipta.
Sebagai seorang muslim, kita harus
memiliki rasa malu ini, karena malu ini memiliki keutamaan, diantaranya :
a)
Malu
pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.
b)
Malu
adalah cabang keimanan.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Iman
memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling
tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan”.
c)
Allah
SWT cinta kepada orang-orang yang malu.
d)
Malu
adalah akhlak para Malaikat.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah aku tidak pantas merasa malu
terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.”[6]
e)
Malu
adalah akhlak Islam.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap agama memiliki
akhlak, dan akhlak Islam adalah malu”.[7]
f)
Malu
sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat.
4.
TAUBAT
Taubat secara epistemologi (bahasa), taubat berasal dari kata kerja
(taaba) yang terbentuk
dari huruf (ta),
(wau) dan (ba),
menjadi (tawaba), makna kata ini
berkisar kepada pulang kembali, dan penyesalan.[8] Sedangkan
menurut istilah agama
dijumpai beragam pengertian
yang prinsipnya bermuara pada
satu makna, yaitu
kembali pada ajaran agama Islam, Muhammad bin Ka’b Al-Qarzhi
berkata, ”tobat itu diungkapkan oleh empat hal, yaitu beristigfar dengan lidah,
melepaskannya dari tubuh, berjanji dalam hati tidak mengulanginya kembali serta
meninggalkan sahabat-sahabat yang buruk.[9]
Taubat adalah penyesalan yang melahirkan kesungguhan tekad dan
niat untuk kembali
dari kemaksiatan kepada
ketaatan. Hakikatnya adalah menyesali dimasa
lalu, dan meninggalkannya dimasa
sekarang, serta bertekad untuk
bersungguh-sungguh tidak mengulanginya kembali dimasa mendatang. Ketiga hal
ini terhimpun pada
waktu terjadinya taubat.
Pada waktu tersebut dia
menyesal, meninggalkan dan
bersungguh-sungguh bertekad.
Saat itu dia
juga kembali pada
penghambaan kepada sang pencipta. Kembali ini merupakan hakikat
taubat.
Taubat adalah
langkah awal, langkah
tengah, dan langkah
akhir. Artinya, seorang
hamba yang menemukan
jalan akan senantiasa
bertaubat, tak pernah tinggal
sampai dia mati.
Dan apabila dia
pindah ke tempat lain, taubat pun ikut bersamanya dan selalu
menyertainya. Jadi taubat merupakan langkah pemula bagi seseorang hamba dan
juga langkah akhir.
Hakikat taubat adalah
kembali kepada Allah
swt. disertai keteguhan melaksanakan
apa yang diperintahkan
dan meninggalkan apa yang
dilarang. Kembali dari
kemaksiatan dan keburukan
kepada kebaikan, dari jalan setan kepada
jalan Allah swt.4Taubat
bukan hanya dilakukan bagi mereka
yang telah melakukan perbuatan dosa. Akan tetapi taubat dilakukan
manakala telah meninggalkan kebaikan
yang diperintahkan merupakan suatu kewajiban. Maka taubat adalah salah
satu perintah agama yang
harus dilakukan oleh
manusia. Sebagaimana dalam Alquran terdapat
banyak ayat-ayat tentang
perintah untuk bertaubat, diantaranya terdapat dalam QS.
at-Tahrim ayat 8 :
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةٗ نَّصُوحًا عَسَىٰ
رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَئَِّاتِكُمۡ وَيُدۡخِلَكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا
ٱلۡأَنۡهَٰرُ يَوۡمَ لَا يُخۡزِي ٱللَّهُ ٱلنَّبِيَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
مَعَهُۥۖ نُورُهُمۡ يَسۡعَىٰ بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَبِأَيۡمَٰنِهِمۡ يَقُولُونَ
رَبَّنَآ أَتۡمِمۡ لَنَا نُورَنَا وَٱغۡفِرۡ لَنَآۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ
قَدِيرٞ ٨
“Wahai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan
nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi
kesalahan-kesahanmu dan memasukkanmu
ke dalam jannah
yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada
hari ketika Allah
tidak menghinakan Nabi
dan orang-orang mukmin yang
bersama dia sedang
cahaya mereka memancar
dihadapan dan disebelah kanan
mereka, sambil mengatakan: “Ya Rabb
kami, sempurnakanlah bagi kami
cahaya kami dan
ampunilah kami; Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Dalam menjalankan
perintah untuk bertaubat,
manusia harusnya mengetahui konsep
taubat itu sendiri
secara komprehensif, karena
dalam realita kehidupan manusia, banyak terjadi pelaksanaan taubat
secara tidak optimal.[10]
Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani taubat yaitu kembali dengan
penyesalan dan keikhlasan
atas dosa yang
telah kita lakukan
serta menjauhi dari dosa
yang akan datang,
membersihkan jiwa dari
kotoran-kotoran yang berkaitan
dengan lainnya serta
menghiasi taubatnya dengan ketakwaan yang
murni kepada Allah
swt.[11]
Sedangkan menurut Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama
telah sepakat bahwa taubat dari
seluruh perbuatan maksiat
adalah wajib. Wajib
dilakukan dengan segera dan tidak
boleh ditunda, baik itu dosa kecil apalagi dosa besar.”[12]
Taubat adalah wajib
secara langsung, karena
meninggalkan kemaksiatan
adalah wajib secara
berkesinambungan dan sebab yang
mewajibkan taubat adalah agar
kita taat, sebab
perbuatan dosa menghalangi
untuk berbuat kebaikaan, menghilangkan
ketauhidan serta berkhidmat
kepada Allah swt. Terus
menerus berbuat dosa
membuat hati menjadi
kelam dan keras, tidak ada
kebersihan dan kejernihan, tidak akan pernah ikhlas dalam beribadah, selain
itu yang mewajibkan taubat adalah agar
ibadah diterima oleh Allah swt. karena taubat merupakan inti dari dasar untuk
diterimanya ibadah dan kedudukan seolah-olah hanya tambahan.[13]
5.
BERZIKIR
Secara etimologi, perkataan zikir berakar pada kata ذَكَرَ،
يَذْكُرُ، ذِكْرًا artinya
mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau
mengerti dan ingatan. Di dalam Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa istilah Dzikri
memiliki Multi interpretasi, di antara pengertian-pengertian zikir adalah menyebut, menuturkan, mengingat, menjaga,
atau mengerti perbuatan baik.[14] Dalam
kehidupan manusia unsur ”ingat” ini sangat dominan adanya, karena merupakan
salah satu fungsi intelektual. Menurut pengertian psikologi, zikir (ingatan)
sebagai suatu ”daya jiwa kita yang dapat menerima, menyimpan dan memproduksi
kembali pengertian atau tanggapan-tanggapan kita.”[15]
Sedangkan zikir dalam arti menyebut Nama Allah yang diamalkan
secara rutin, biasanya disebut wirid atau aurad. Dan amalan ini termasuk ibadah
murni (mahdhah), yaitu ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah SWT.
Sebagai ibadah Mahdhah maka dzikir jenis ini terikat dengan norma-norma ibadah
langsung kepada Allah, yaitu harus ma’tsur (ada contoh atau perintah dari
Rasulullah Saw).
Secara terminologi definisi zikir banyak sekali. Ensiklopedi
Nasional Indonesia menjelaskan zikir adalah ingat kepada Allah dengan
menghayati kehadiran-Nya, ke-Maha Sucian-Nya, ke-Maha ke-Terpujian-Nya dan
ke-Maha Besaran-Nya. Dzikir merupakan sikap batin yang bisa diungkapkan melalui
ucapan Tahlil (La Ilaha illa Allah, Artinya,
Tiada Tuhan Selain Allah), Tasbih (Subhana Allah, Artinya Maha Suci
Allah), Tahmid (Alhamdulillah, Artinya Segala Puji Bagi Allah), dan Takbir
(Allahu Akbar, Artinya Allah Maha Besar).
Dzikir sebagai fungsi intelektual, ingatan kita akan apa yang telah
dipelajari, informasi dan pengalaman sebelumnya, memungkinkan kita untuk
memecahkan problem-problem baru yang kita hadapi, juga sangat membantu kita
dalam melangkah maju untuk memperoleh informasi dan menerima realitas baru.
Namun dalam pengertian disini, pengertian
yang dimaksud adalah ”Dzikir Allah”, atau mengingat Allah.[16]
Imam Nawawi berkata, “zikir dilakukan dengan lisan dan hati secara
bersama-sama. Kalau hanya salah satu saja yang berdzikir, maka dzikir hati
lebih utama. Seseorang tidak boleh meninggalkan dzikir lisan hanya karena takut
riya. Berdzikirlah dengan keduanya dan niatkan hanya mencari ridha Allah
semata. Suatu hari saya mengunjungi Al-Fadhil untuk menanyakan orang yang
meninggalkan amal perbuatan karena takut riya dihadapan manusia. Beliau
menjawab, ”kalau seseorang menyempatkan diri memperhatikan tanggapan orang lain
padanya, berhati-hati atas persangkaan jelek mereka, maka pintu-pintu kebaikan
tidak terbuka lebar untuknya. Ia telah menghilangkan bagian agama yang sangat
vital. Ini bukan jalan yang ditempuh orang-orang bijak”.[17]
Hal ini dengan simpel dan sederhana di sampaikan syaikh Ibnu
Athaillah ra. Beliau berkata : ”janganlah engkau tinggalkan dzikir semata-mata
karena tidak adanya kehadiran hatimu bersama Allah di dalamnya. Sebab kelalaian
hatimu (kepada Allah) tanpa adanya dzikir adalah lebih berbahaya daripada
kelalaian hatimu di dalam dzikir. Barangkali Allah akan mengangkatmu dari
dzikir yang lalai menuju dzikir dengan sadar, dari dzikir yang sadar menuju
dzikir yang hadir, dari dzikir yang
hadir kepada dzikir dengan hilangnya selain dzikir yang di-dzikiri.” Dan yang
demikian itu sekali-kali tidak sukar bagi Allah”. QS:14/20.[18]
Menurut ahli tashawwuf, dzikir itu terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
a.
Dzikir
lisan atau disebut juga dzikir nafi isbat, yaitu ucapan La Ilaaha Illallah.
Pada kalimat ini terdapat hal yang menafikan yang lain dari Allah dan
mengisbatkan Allah. Dzikir nafi isbat ini dapat juga disebut dzikir yang nyata
karena ia diucapkan dengan lisan secara nyata, baik dzikir bersama-sama maupun
dzikir sendirian.
b.
Dzikir
qalbu atau hati, disebut juga dzikir: Asal dan kebesaran, ucapannya Allah,
Allah. Dzikir qalb ini dapat juga disebut dzikir ismu dzat karena ia langsung
berdzikir dengan menyebut nama Dzat.
c.
Dzikir sir atau rahasia, disebut juga dzikir isyarat dan nafas, yaitu berbunyi :
Hu, Hu. Dzikir ini adalah makanan utama sir (rahasia). Oleh karena itu ia
bersifat rahasia, maka tidaklah sanggup lidah menguraikannya, tidak ada
kata-kata yang dapat melukiskannya.[19]
6.
BERDO’A
Ditinjau dari
segi Psikologi Islam,
doa salah satu
sarana bertaqarrub, memelihara
iman dan meningkatkan ketakwaan
kepada Allah.Sebagai bentuk
penghambaan seseorang kepada
Tuhan-Nya dan menyatakan bahwa
dirinya tiada memiliki daya
kuasa.[20] Manusia
dapat mengadukan segala
keluh kesah ataupun kebahagiaannya melaluidoa,
karena doa suatu fitrah
manusia yang tidak
dapat kita pungkiri.[21] Sebagaimana
makhluk Tuhan, manusia bebas berdoa apa pun dan kapan pun. Akan tetapi,
kebebasan manusia dalam
berdoakepada Allah inilah
yang membuat manusia lupa apa fungsi doa itu sebenarnya.[22] Dalam
Islam, fungsi doa dipahami sebagai ungkapan syukur, sebagai ungkapan
penyesalan, sebagai permohonan, dan mempunyai peranan sangat pentinguntuk penyembuhan, yang dibutuhkan
oleh setiap orang.
Nasution mengatakan dilihat
darisudut kejiwaan (psikologi), doa
mempunyai pengaruh terhadap
pengembangan rohaniah,
membuat rohaniah semakin
tenang dan kuat,
mampu dan mempunyai daya tahan membendung desakan-desakan
keinginan jasmaniah.[23] Salah satu kunci sukses
dalam berdoa adanya
optimisme dalam hati
bahwa apa yang diminta
akan dikabulkan oleh Allah
Swt. Seorang hamba benar-benar
meyakini bahwa apa yang
diminta kepada Allah SWT hal
yang memang dibutuhkannya. Sebab pengabulan Allah
Swt sesuai dengan permintaan
hamba-Nya.7Sehingga dengan doa, manusia
akan selalu merasa
memiliki kesempatan untuk
meraih sesuatu. Inilah
yang mendatangkan rasa optimisme dalam kehidupannya. Sebagaimana Allah berfirman
dalam Q.S. al-Baqarah/1: 186
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا
دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ
يَرۡشُدُونَ ١٨٦
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku
adalah dekat. aku
mengabulkan permohonan orang
yang berdoa apabila ia
memohon kepada-Ku, Maka hendaklah
mereka itu memenuhi
(segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran”
Sikap
optimisme sangatlah penting dalam kehidupan, karena orang yang optimis itu selalu
berpikir positif dalam suatu
keadaan. Orang berdoa
dengan bersikap optimis penuh
prasangka baik (husnuzhan)
kepada Allah Swt.
Salah satu etika yang
harus dilakukan dalam berdoa
adalah optimisme. Islam
mengajarkan etika agar
meminta dan berharap akan
perkara-perkara yang besar,
seperti penyembuhan suatu
penyakit. Namun, tidak semua
harapan diutarakan, tetapi
meminta agar merasa
cukup adalah lebih baik.
Sederhananya, tidak setiap
kebutuhan dan harapan
layak untuk dijadikan permintaan dalam
berdoa. Begitulah semangat
optimisme berdoa yang
harus dibangun sehingga
nuansa berdoa tidak
hilang karena pesimisme
atau karena kecilnya permintaan-permintaan hambanya.
Orang yang optimis mampu melihat
kesempatan diantara begitu banyak
kesempitan. Sedangkan orang yang
pesimis melihat begitu banyak kesempitan diantara semua
kesempatan.[24]
B.
AKHLAQ KEPADA RASUL ALLAH SWT
1.
TAAT KEPADA RASUL
Islam mengajarkan ketaatan
kepada Allah dan
Rasul-Nya. Ada banyak
bentuk ketaatan yang harus dilaksanakan,
seperti shalat, zakat,
puasa, dan lain
sebagainya. Secara umum taat
kepada Allah berarti
berusaha untuk melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan tidak
melanggar
larangan-larangan-Nya. Sedangkan taat
kepada Rasul-Nya berarti berusaha
melaksanakan risalah yang
diajarkan dalam artian meneladani perilaku Nabi Muhammad
Saw. sebagai representasi bahwa beliau adalah uswatun hasanah (teladan
baik).Dalam upaya menjalankan ketaatan
tersebut, Nabi Muhammad
Saw. mewariskan dua hal
kepada umatnya yaitu Al-Qur‟an
dan hadis yang dapat
dijadikan sebagai pedoman. Al-Qur‟an sebagai kalam Allah Swt. telah
diyakini keotentikannya seiring
dengan proses turunnya
yang secara mutawatir
kemudian ditulis dan dihafalkan oleh para sahabat. Ditambah
lagi Allah Swt. sebagai pemilik wahyu yang senantiasa memelihara al-Qur’an.[25]
2.
MENGHIDUPKAN SUNNAH
Menghidupkan Sunnah bermakna mengembalikannya kembali hidup jika
ditemukan ia sedang mati suri. Di dalam Kitab Faidhul Qadhir, Syarah Sunan Ibnu
Majah, dijelaskan bahwa menghidupkannya bermakna memahami petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan dan menyebarkannya di kalangan
manusia, serta menganjurkan orang lain untuk mengikutinya dan melarang manusia
dari menyelisihinya. Adapun yang disebut dengan Sunnah (secara bahasa adalah
metode dan jalan, baik terpuji atau tercela. Dikutip dari karya Syaikh Manna’
al-Qaththan, Mabaahits fii ‘Uluumil Hadiits) adalah seluruh perkataan Nabi
Muhammad Saw., perbuatannya dan ketetapannya atas segala sesuatu. Akan datang
senantiasa masa dan kesempatan bagi manusia untuk menghidupkannya agar Allah
melihat siapa di antara hambaNya yang mencintai Sunnah.
Allah Swt berfirman di dalam Al-Qur’an, tepat pada hari Ahzab, di
kala manusia saat itu berada dalam kegoncangan jiwa, gelisah, gusar dan
bimbang, mengingatkan mereka bagaimana kesabaran Nabi Saw, keteguhannya, kepahlawanannya,
perjuangannya, dan kesabarannya dalam menanti pertolongan dari Rabb-nya Saw.
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ
ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ
وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Di dalam ayat ini, Allah Swt. menggambarkan bahwa manusia hidup
membutuhkan keteladanan, dan sebaik-baik keteladanan adalah jika ia
mengambilnya dari Rasulullah Saw. Namun, Allah juga menegaskan, bahwa tidak
akan mungkin ada manusia yang mau menjadikannya teladan kecuali bahwa manusia
tersebut adalah dari golongan orang-orang yang sangat mengharapkan turunnya
rahmat Allah Swt di dunia dan di akhirat, dan sehingga dia pun banyak
menyebut-nyebut nama Allah. Pada saat itulah ia sedang berada dalam jalan
keselamatan, jalan yang lurus (shirat al-mustaqim), dan bahwa kecintaannya
kepada Allah Swt ternyata mengharuskannya mengambil sebaik-baik teladan untuk
kehidupannya dan itu ada pada diri Rasulullah Saw. Maka kita semakin
memahaminya ketika Al Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan kepada kita, bahwa ayat
yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang mencontoh Rasulullah dalam
berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya.
3.
MEMBACA SHOLAWAT DAN SALAM
Pribadi Muhammad Saw yang sempurna
ini merupakan teladan hidup tidak hanya kaum Muslim tapi bagi seluruh umat
manusia. Kejujuran, keadilan,
kebenaran, kebaikan dan kasih sayangnya merambah pada semua lapisan
manusia pada seorang
yang tidak beragama
islam sekalipun Nabi Muhammad
Saw akan tetap
berlaku adil dan
bijaksana, akhlak Nabi Muhammad Saw yang agung ini telah memancar
bagi dan
keseluruh alam. Jika
kita kaum muslimin
meyakini Nabi Muhammad sebagai
Rasulullah tentunya kita mempunyai konsekuensi didalam
mempertanggung jawabkan keyakinan
itu, ini berarti
kita harus mengikuti
suri tauladan beliau dalam
seluruh sisi kehidupan
kita. Salah satunya yaitu membacakan shalawat
kepadanya baik pada
shalat-shalat yang kita laksanakan atau dalam kehidupan
sehari-hari.Dalam al-Qur‟an Allah Swt
mengajarkan kepada kita tentang
keagungan dan kemuliaan
Nabi Muhammad Saw ketundukan sempurna
dan total dalam
cinta kepada Rasulullah Saw
merupakan syarat mutlak
guna meraih keberhasilan dalam
perjalanan ruhani, Allah
Swt dan para malaikatnya terus
menerus menyampaikan shalawat
kepada Nabi Saw.1Diantara Hak RasulullahSaw yang disyariatkan Allah
Swt atas
umatnya adalah mengucapkan
shalawat dan salam bagi
beliau. Sebab shalawat
merupakan jalinan kasih
sayang Rasulullah Saw kepada
Allah Swt. Dan
juga sebagian ungkapan rasa
syukur kita kepada Rasulullah Saw atas segala jasa dan
pengorbanannya yang telah
menuntun kita ke
jalan yang benar. Shalawat
adalah pengingat akan
keistimewaan Rasulullah Saw. Dalam
kehidupan ini selain rasa syukur
kita kepada Allah Swt semakin banyak kita bershalawat, semakin
bertambah cinta kita
kepada Rasulullah Saw
dan tentu Allah Swt. Juga akan mencintai kita.Shalawat menurut
bahasa berasal dari kata shalaat, bentuknya tunggal
adalah shalaat dan
bentuk jamaknya yaitu shalawaat yang
berarti doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan
ibadah untuk mengingat allah
Swt secara terus menerus.
Sedangkan secara istilah
shalawat adalah rahmat yang
sempurna, kesempurnaan atas
rahmat bagi kekasihnya. Disebut
sebagian rahmat yang
sempurna karena tidak ”diciptakan”
shalawat, kecuali hanya
kepada Rasulullah Saw. Allah
Swt dan para
malaikat-Nya telah bershalawat kepada Rasulullah
Saw. Diantara hak
Nabi Saw yang disyariatkan Allah
atas umatnya adalah
agar mereka mengucapkan shalawat
dan salam untuk
beliau. Shalawat disisi Allah
adalah menuju kepada-Nya
untuk mengakui
ketuhanan-Nya, ke Esaan-Nya,
dan ketiada bandingan-Nya, dengan ibadah,
minta pertolongan serta
mohon petunjuk untuk melalui
jalan sulit sehingga
setiap langkah merupakan kenikmatan ridha-Nya. Shalawat dari
Allah berarti diterimanya pendekatan.
Sedangkan dari hamba adalah do‟a dan
ketundukan kepada keagungan
Allah. Allah Swt. Berfirman dalam Al Qur’an surah Al
Ahzab ayat 56 :
إِنَّ
ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا ٥٦
Allahdan
malaikat-malaikatNya
bershalawat untuk nabi. Hai
orang-orang beriman, bershalawatlah kamu
untuk Nabi ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya.”
Dalam Shahih Muslim 616: Telah menceritakankepada kami Yahya bin
Ayyub, Qutaibah dan
Ibnu Hujr mereka
berkata: telah
menceritakankepada kami Ismail,
yaitu Ibnu Ja'far
dari al-'Ala' dari
bapaknya dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah shallalahu 'alaihi
wa sallam bersabda,
"Barangsiapabershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan
bershalawat kepadnya sepuluh kali."
Hadis di atas shahih, menunjukkan bahwa siapa saja yang
bershalawat kepada Nabi
sekali maka Allah
akan membalas shalawatnya sepuluh
kali dan Allah
akan memberikan shalawat yang
akan di lipatgandakan
karena satu kebaikan dibalas dengan sepuluh yang semisal.
4.
MENCINTAI RASULULLAH
Sebagian Muslim mengaku paling mencintai Nabi karena selalu
merayakan kelahirannya. Sebagian yang lain mengaku paling mencintai karena
selalu melaksanakan sunahnya. Mereka tentu jauh lebih baik dari orang yang
tidak mencintai Nabi, tidak merayakan kelahirannya, dan tidak pula melaksanakan
sunahnya.
Di luar Muslim, ada beberapa orang yang menghina, menuduh penipu,
pembohong, gila seks karena memiliki banyak istri, rakus harta, serta banyak
tuduhan dan penghinaan lainnya. Penghinaan terhadap beliau tidak hanya
berlangsung saat ini saja.
Ketika beliau masih hidup pun, jauh lebih parah dan menyakitkan.
Namun ada pula yang mengakui kemuliaan akhlaknya, mengagumi sikap
kepemimpinannya, kelembutan hati Nabi, bahkan menempatkannya sebagai “Top One”,
orang paling berpengaruh di dunia.
Jika seorang Muslim mencintai sang Nabi, harus membuktikan
kecintaannya tersebut. Bukti cinta kepada Nabi, di antaranya, pertama,
berkeinginan kuat untuk bertemu dan berkumpul bersama Nabi.
Bagi Muslim generasi setelah sahabat termasuk generasi sekarang
yang tidak memiliki kesempatan bertemu dengan sang Nabi mesti berharap agar
dikumpulkan bersama Nabi di Jannah Firdaus yang Allah SWT janjikan kepada
orang-orang saleh dan muttaqin. Yakni, dengan cara melaksanakan perintah Allah
SWT dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Kedua, menaati beliau dengan menjalankan sunahnya dan mengikuti
setiap ajarannya. Allah SWT menegaskan, dengan menaati Nabi, berarti telah
menaati Allah. Melaksanakan sunah Nabi memiliki keistimewaan dan memberi
kebahagiaan tersendiri. Selain merasa dekat dengan Nabi, secara saintis
sunah-sunah Nabi memiliki efek menyehatkan.
Shalat Tahajud misalnya, sebuah penelitian membuktikan bahwa
aktivitas selepas bangun tidur pada waktu sepertiga malam (kira-kira pukul
02.00 sampai pukul 04.00) dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi
kesehatan. Shalat Tahajud menjadi terapi pengobatan terbaik dari berbagai macam
penyakit. Karena itu, orang-orang yang membiasakan diri untuk Tahajud akan
memiliki daya tahan tubuh sehingga tak mudah terserang penyakit.
Nabi SAW bersabda, “Dirikanlah shalat malam karena itu adalah
tradisi orang-orang saleh sebelum kalian, sarana mendekatkan diri kepada Allah,
pencegah dari perbuatan dosa, penghapus kesalahan, dan pencegah segala macam
penyakit dari tubuh.” (HR Tirmidzi).
Ketiga, memperbanyak shalawat kepadanya. Nabi bersabda, “Barang
siapa bershalawat atasku sekali, niscaya Allah bershalawat atasnya sepuluh
kali.” (HR Muslim). Allah SWT senantiasa melindungi dan merahmati mereka yang
bershalawat kepada Nabi. Bahkan dengan memperbanyak shalawat, mempermudah
setiap urusan duniawi.
Keempat, mencintai orang-orang yang dicintai Nabi. Jika Nabi
mencintai para sahabatnya, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dll, serta
para istri dan keturunannya, sudah sepatutnya seorang Muslim mencintai mereka
pula.
Kelima, mengikuti akhlaknya. Tidak dimungkiri bahwa Nabi SAW
memiliki akhlak yang mulia. Firman Allah SWT dalam QS al-Qalam ayat 4, “Dan
sesungguhnya engkau (Muhammad) berakhlak yang agung.” Salah satu tugas Nabi
diutus, yakni untuk menyempurnakan akhlak. Nabi bersabda, “Sesungguhnya aku
hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR Bukhari)
Bukti-bukti cinta ini perlu diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari setiap Muslim. Keluhuran akhlak beliau dapat menjadi standar dasar
akhlak yang harus dimiliki. Dengan menunjukkan bukti mencintai Nabi, semoga
kelak dikumpulkan bersamanya di jannah Allah nanti. Wallahu a’lam.
[1] Beni Ahmad
Saebani dan Abdul Hamid. Ilmu Akhlak (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h.
7
[2] Ahmad Warson
Al-Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progressif,
1997), Hlm. 1579
[3] Mahmud Yunus,
Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/
Pentafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Depag RI, 1973), Hlm. 506
[4] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, (Jakarta:
PN Balai Pustaka, 1976), Cet. 5, Hlm. 1026
[5] Raudhatul
‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’ (hal. 53)
[6]
Shahîh: HR.Muslim (no. 2401)
[7]
Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr
(I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 940)]
[8]
Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Taubat Surga Pertama Anda (Jakarta:
Pustaka ImamAsy-Syafi’I, 2007), hal. 9
[9]
Idrus Abidin, 1000 jalan Menuju Taubat (Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2013),
hal. 4-5
[10]
Muhammad Huda, Hadis Tentang
Taubat Dari Suatu
Dosa tetapi Masih
Melakukan Dosa Yang Lain(UIN Sunan Kalijaga), hlm. 4
[11] Sisa Rahayu,
Konsep Taubat Menurut
Syekh Abdul Qadir
Al-Jailani Dalam Tafsir
al-Jaelani ( UIN Walisongo), hlm. 137
[12] Sisa
Rahayu, Konsep Taubat Menurut Syekh Abdul Qadir
Al-Jailani Dalam Tafsir al-Jaelani ( UIN Walisongo), hlm. 137
[13] Muhammad Huda, Hadis
Tentang Taubat Dari
Suatu Dosa tetapi
Masih Melakukan Dosa Yang
Lain(UIN Walisongo), hlm. 24
[14]
In’ammuzahiddin Masyhudi, Nurul Wahyu A, Berdzikir dan Sehat ala Ustad Haryono,
Semarang: Syifa Press, 2006, hlm. 7
[15] M. Afif
Anshori, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa Solusi Tasawuf Atas Manusia Modern, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm, 16
[16] M. Afif
Anshori, loc.cit.
[17] Abdul
Halim Mahmud, Terapi Dengan Dzikir Mengusir Kegelisahan & Merengkuh
Ketenangan Jiwa, Misykat (PT. Mizan Publika), Jakarta, 2004, hlm, 78-79.
[19] Moh
Saefullah al-Aziz, Op.cit, hlm, 194 -195
[20] Abdullah Muhammad
El-Khabani, Spirit Do’a Nabi Menguak Rahasia Terbesar Do’a Nabi SAW
(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2009), 1.
[21] Imam Musbikin, Terapi Shalat
Tahajud bagi Penyembuhan
Kanker (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), 156.
[22] Tengku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,Pedoman Dzikir dan Do’a(Jakarta: Bulan Bintang,
1993), 93.
[23] Abu
Khansa al-Luwuky, Agar Doamu Dikabulkan (Jakarta: Iskandar Kato, 2008), 8
[24] Musbikin,
Terapi Shalat Tahajud
bagi Penyembuhan Kanker (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), 28-29.
[25] Abdullah
Karim, Pengantar Studi Al-Qur‟an (Banjarmasin: Kafusari Press, 2011), 66